Oleh : Mulyadi J. Amalik
Pergerakan politik di desa-desa Nusantara sejak masa kerajaan, kolonial, hingga masa kemerdekaan dan reformasi tak banyak mengalami perbedaan. Masyarakat desa dari waktu ke waktu masih menjadi “warga kelas dua” dalam wacana politik dan ekonomi Indonesia.
Ciri agraris yang melekat kuat pada sistem kehidupan masyarakat desa tak begitu berarti mengingat lemahnya daya tawar masyarakat desa, terutama kaum petani desa, terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Dalam kata lain, model pembangunan top down selalu menghiasi wajah masyarakat desa sejak masa feodalisme, kolonialisme, dan pascakolonial atau masa kemerdekaan Republik Indonesia (Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi).
Pemberdayaan masyarakat desa pun mengalami tantangan berat saat ini. Salah satu alasannya ialah, 1) sistem sosial masyarakat desa tumbuh kian kompleks akibat gempuran globalisasi yang ditandai oleh gesitnya penetrasi modal di tengah masyarakat; dan 2) kencangnya teknologi informasi dalam menyisir kehidupan masyarakat di kampung-kampung. Kondisi ini jelas sangat mengguncang jiwa bagi masyarakat desa kelas bawah yang tak mungkin menyesuaikan diri. Akan tetapi, keadaan itu juga cukup memukul mental bagi priyayi, bangsawan, atau orang kaya di desa yang harus menambah anggaran pengeluaran (konsumsi) demi menjaga status sosialnya.
Sebagai contoh--meskipun ini tak dapat digeneralisasi untuk semua masyarakat desa di Indonesia--, pada akhir tahun 2012 (Jawa Pos, 25 Desember 2012, 21 dan 31) Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya merilis hasil pendataan pasien sakit jiwa di banyak Puskesmas di Jawa Timur. Hasilnya, terdapat sekitar 15% atau 5,7 juta orang yang menderita gangguan jiwa dari sekitar 38 juta jiwa penduduk Jawa Timur. Angka penderita gangguan jiwa ini tergolong tinggi. Sebesar 11% dari jumlah pasien itu adalah penderita gangguan jiwa berat yang banyak tersebar di pedesaan, sedangkan 4% sisanya tergolong penderita gangguan jiwa ringan yang tersebar di perkotaan. Penderita gangguan jiwa berat di pedesaan umumnya berusia produktif, yaitu antara 15 hingga 50 tahun. Lebih mengejutkan lagi, diberitakan bahwa angka pasien penderita gangguan jiwa ini cenderung meningkat saat ujian nasional anak sekolah dan Hari Raya Idul Fitri (Lebaran).
Tampaknya, kecukupan materi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan gaya mengonsumsi atau cara mengonsumsi gaya hidup merupakan inti masalah yang melatari gangguan jiwa di atas. Di sisi lain, masyarakat kota sudah banyak mengambil alih cara kerja atau cara hidup orang desa, seperti membangun paguyuban hobi, menjual atau mengonsumsi makanan vegetatif, hidup sederhana, dan lain-lain. Sementara itu, ekonomi masyarakat petani desa terus mengalami dualisme antara subsisten dan kapitalisasi. Di sisi politik, wacana demokrasi berkembang sangat liar dan ditafsir sebagai kebebasan tak berbatas. Masyarakat desa dijadikan “petasan sumbu pendek” oleh politisi lokal dan nasional.
Kekerasan politik kerap dipertontonkan seakan bagian dari cara berdemokrasi. Apakah ideologi nasional sebagus Pancasila sudah mati atau masih hidup di kalangan masyarakat desa? Inilah salah satu pertanyaan yang kadang membuat kita ingin selalu menjadi “golongan putih” (golput) alias tidak memilih dalam setiap pemilihan umum. Namun, tak bisa diprediksi apakah masyarakat desa mau menjadi golput manakala mereka digiring ke bilik suara dengan lambaian uang lima puluhan atau seratusan ribu.
Makna Kontekstual Desa
Memahami konsep tentang “desa” dengan segala konstruksi budaya dan politik di baliknya sangat penting pada masa sekarang agar perencanaan pemberdayaan desa di seluruh wilayah Indonesia tidak menimbulkan resistensi dari masyarakat. Pengertian tentang istilah “desa” di Jawa cenderung terwarisi dari sistem pemerintahan kolonial, yaitu bersifat administratif. Daftar keanggotaan masyarakatnya ditentukan berdasarkan teritorial atau lokasi tempat tinggal warga. Menurut Ter Haar yang dikutip Arbi Sanit (2000, 21), masyarakat desa di Jawa terbentuk atas dasar asas teritorial murni sehingga warganya terdiri dari kumpulan keluarga-keluarga, dan orang asing di luar keluarga pendiri desa yang tinggal di desa itu tetap dianggap penduduk desa.
Sementara itu, hirarki sosial masyarakatnya terkonstruksi secara politik pula, seperti terlihat dalam istilah “keluarga sejahtera dan prasejahtera”, “masyarakat desa tertinggal”, atau “masyarakat (primitif) pedalaman”, dan lain-lain. Cara pandangnya sentralistik; subyek mengonstruksi obyek. Masyarakat desa tak mengampanyekan istilah sendiri atas status sosial mereka di desa. Kriteria yang disebut “kaya” atau “miskin” menurut ukuran masyarakat desa sendiri, misalnya, tak pernah diungkap untuk melihat suasana batin atau sikap mental warga desa. Padahal, hal ini sangat penting dibandingkan, yaitu antara bahasa pemerintah dan kalangan nonpemerintah agar tak terjadi kesalahan dalam program pemberdayaan masyarakat desa. Apalagi, pemberdayaan itu bersifat bantuan bagi setiap keluarga atau kelompok warga, baik dalam bentuk uang tunai langsung, kapasitas kelembagaan, maupun infrasruktur, dan lain-lain.
Sumber : https://www.ireyogya.org/mandatory-edisi-10-reformasi-desa/
Posting Komentar