Bapa Dang Hyang, perempuan yang bernyala rahasianya itu yalah isteri sang akuwu di Tumapel. Jika demikian, akuwu akan saya bunuh dan saya ambil isterinya, tentu ia akan mati."
Dalam Serat Pararaton, ucapan Ken Angrok kepada Dang Hyang Lohgawe, tersebut, begitu masyhur. Menunjukkan betapa ambisi untuk merebut kekuasaan dan wanita sudah tertanam sejak dahulu. Membunuh Tunggul Ametung, merebut Ken Dedes, dan kemudian menduduki tahta.
Carut-marut ala Pararaton adalah potret kerajaan di Nusantara. Bahwa intrik politik, perebutan kekayaan dan kekuasaan, seakan menjadi warna yang selalu terlihat menyolok. Dan sesungguhnya, inilah cikal-bakal korupsi di Indonesia. Banyak kerajaan besar di Nusantara hancur, karena polah seperti ini. Selain Singosari yang akhirnya terkena kutuk Empu Gandring, si pembuat keris, masih banyak yang lain.
Sebut saja pertikaian Joko Tingkir dan Haryo Penangsang di Demak atau Sultan Haji yang merebut tahta dari ayahnya yakni Sultan Ageng Tirtayasa di Kesultanan Banten. Bahkan, kehancuran Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram, konon juga disebabkan karena perilaku koruptif dan perebutan kekuasaan.
Pararaton atau disebut juga Katuturanira Ken Angrok memang bukan kitab sejarah. Namun banyak pakar dapat menerima kesejarahan kitab tersebut pada tingkat tertentu. JJ. Ras, profesor emeritus bahasa dan sastra jawa Universitas Leiden, membandingkan Pararaton dengan Prasasti Canggal (732), Prasasti Siwargha (856), Calcutta Stone (1041), dan Babad Ranah Jawi (1836). Hasilnya terdapat kesamaan yang jelas dalam karakter, struktur dan fungsi dari teks-teks tersebut serta kesamaan dengan teks-teks historiografi Melayu.
Bisa dibayangkan, melihat cikal-bakal korupsi yang sudah begitu lama, tentu akarnya begitu dalam tertanam di negeri ini. Terlebih dalam berbagai periode sejarah setelah itu pun, nyaris tak ada ruang yang tidak dimanfaatkan korupsi. Mulai kehadiran VOC di Indonesia pencengkeraman ala Hindia Belanda, penjajahan Jepang, bahkan setelah negeri ini merdeka, sejak Orde Lama hingga detik ini, semua tak luput dari korupsi. Buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), misalnya menyebut, selain bangsawan gemar menumpuk harta, abdi dalem pun berperilaku oportunis dan terlibat pula dalam perilaku koruptif.
Tentu, ini adalah tugas berat kita semua. Mencabut yang sudah tertanam demikian dalam, tentu tak mudah. Terlebih, saat ini pun korupsi sudah bermetamorfosis dan turut mengikuti kemajuan teknologi. Namun tak boleh ada kata menyerah. Mengambil momentum peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember 2016, kita berharap semangat pemberantasan korupsi harus selalu digelorakan. Tidak hanya KPK yang saat ini sedang giat memberantas korupsi memanfaatkan teknologi informasi secara optimal. Namun juga masyarakat, harus pula berpartisipasi. Ayo!
Sumber : https://www.kpk.go.id/
Posting Komentar