Oleh : Sutoro Eko
*Catatan
kecil diskusi dengan para tenaga ahli desa
Semalam
(23/10/17), bertempat di bilangan Mangga Dua, Daeng Wahyuddin Kessa serta para
fasilitator "membajak" saya untuk silaturahmi diskusi dan memberi
"wejangan" kepada para tenaga ahli (TA) yang tengah mengikuti
pelatihan pratugas, Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat
Desa, Kemendesa PDTT. Di hadapan para "gelandang serang" itu saya
menyampaikan pesan bahwa sejumlah 13 asas dalam UU Desa, terbagi menjadi dua
kategori: kuasa desa atau otonomi dan kuasa rakyat atau demokrasi. Spiritnya:
membela desa dengan rekognisi, sekaligus melawan desa dengan demokrasi.
Kuasa
desa (otonomi) atau kemandirian mengandung empat dimensi: otoritas, prakarsa,
kapasitas dan swakelola. Ini dihasilkan oleh rekognisi subsidiaritas, dengan
kontrol negara yang longgar. Kuasa rakyat atau demokrasi mencakup partisipasi,
representasi, deliberasi dan akuntabilitas.
Jika
kuasa desa (otonomi, kemandirian) dan kuasa rakyat dikombinasikan, maka
membuahkan empat tipe desa.
Pertama,
desa korporatis-otoritarian, yang memiliki otonomi dan demokrasi sama-sama
lemah. Ini adalah seburuk-buruknya desa. Desa punya pengalaman panjang dengan
formasi ini. Sekarangpun masih sangat banyak.
Kedua,
desa otonom-otoritarian, desa yang memiliki otonomi (kemandiran) kuat tetapi
memiliki kuasa rakyat (demokrasi) yang lemah. Kuasa rakyat memang variatif dan
kontekstual. Tetapi desa otonom, dalam pengertian kontrol negara yang longgar,
itu sangat jarang terjadi. Dalam lintasan sejarah, desa mandiri (berdikari)
hanya terjadi pada tahun 1945-1965 ketika kontrol negara longgar, dan
emansipasi desa menguat.
Ketiga,
desa korporatis-demokratis, yakni desa memiliki kuasa desa (otonomi) yang lemah
karena kontrol negara yang kuat, serta memiliki kuasa rakyat (demokrasi) yang
kuat. Berdasarkan studinya di Bali, Clifford Geertz (1980) menyebut desa ini
sebagai "kolektivisme pluralistik". Desa memiliki struktur yang
beragam, yang masing-masing punya otonomi, tanpa kekuasaan monolitik, namun
mereka diikat secara bersama (kolektivisme) dalam wadah desa. Desa ini unik,
sebab desa kompak secara internal, dan sanggup menahan gempuran dari luar,
serta bernegosiasi dengan negara.
Keempat,
desa otonom-demokratis, yakni desa memiliki kuasa desa (otonomi) yang kuat,
sekaligus memiliki kuasa rakyat (demokrasi). Inilah "desa baru" yang
disiapkan oleh UU Desa.
Tetapi
UU Desa telah direduksi oleh "negara lama" antara lain dalam bentuk
proyek dana desa dan kuasa uang atas desa. Karena itu kuasa desa jadi lemah,
sebaliknya korporatisme negara jadi kuat. Dalam kondisi ini, para TA maupun
pendamping, yang bergerak di lokal, dapat memainkan resolusi lokal dengan
mendorong tumbuhnya desa tipe ketiga. Sekarang pilkades baru telah menghadirkan
para generasi baru, yang bisa menjadi modalitas politik untuk merajut
"kolektivisme pluralistik".
Usai
diskusi, para TA begitu heboh, mengajak foto bersama. Foto bersama adalah
artikulasi silaturahmi yang membawa berkah dan semangat baru. Dan yang tak
kalah penting Wahyu Hananto Pribadi berseloroh: "Harusnya diskusi begini
untuk memperoleh pikiran yang dalam dan wawasan yang luas, agar para TA tidak
menjadi tukang". Saya kasih jempol dua untuk ini.
Kepada
para TA, selamat berkarya, berdesa, berjuang dan bergerak.
Sumber : Posting Facebook Akun Sutoro Eko, Tanggal 24 Okt 2017
Posting Komentar